Urang Sunda ‘Menelanjangi’ Aceh

Jumat, 13 November 2009
“Pasalnya, orang Aceh menang perang melawan Belanda. Mental pemenang perang di seluruh dunia itu dilayani. Bukan melayani,”

PETIKAN di atas adalah bagian dari banyak tulisan di buku tentang Aceh yang ditulis bukan oleh orang Aceh. Berjudul “Aceh di Mata Urang Sunda”, buku itu memuat banyak hal tentang Aceh yang diterbitkan Bandar Publishing.

Adalah Arif Ramdan, jurnalis di harian Serambi Indonesia yang punya laku merekam jejak Aceh pascatsunami dan perdamaian dalam bukunya itu. Sabtu (25/4) kemarin, Arif membagikan buku itu untuk lingkup terbatas di Newsroom Serambi Indonesia. Pernah menjadi relawan pada masa sulit di awal tsunami, catatan Arif cukup membantu mengabadikan serpihan fakta yang mungkin tidak terekam orang-orang di Aceh.

Seperti ditulisnya di sekapur sirih, lelaki kelahiran Tanah Pasundan ini, merasa wajib mengabadikan berbagai hal tentang Aceh yang selama lima tahun ‘ditidurinya’. Arif tak pernah tersinggung, ketika dirinya dimaki sebagai orang Jawa ‘Penjajah”. Di tulisan berjudul, “Saya Sunda bukan Jawa”, Arif mencoba meluruskan pemahaman orang yang kerap ditemuinya di pasar dan di pedalaman Aceh. Judul itu, bernada ‘pembelaan’ agar penulis selamat dalam kondisi terjepit di tengah orang-orang yang ‘murka’ atas keadaan.

Arif Ramdan seperti sedang menyiapkan bekal bagi mereka yang akan dan punya ketertarikan dengan Aceh. Diberi pengantar oleh seorang budayawan Sunda, yaitu Drs HR Hidayat Suryalaga, adalah sebuah upaya menyambung ikata batin antara Urang Sunda dan Ureung Aceh. Sebab, pahlawan Aceh Cut Nyak Dien telah menjadi bagian dari sejarah masyarakat Pasundan dimana mereka memberinya gelar Eyang Ratu Urang Sunda. Drs HR Hidayat Suryalaga juga mengingatkan pembaca Sunda-Aceh bahwa ikatan itu telah lama dibangun melalui endapan perjalanan historis religositas, sosio-kultural serta tatanan fonologis-heurmanetika. Diantaranya, betapa erat penyebaran agama Islam di Tatar Sunda dengan tokoh agama Islam yang berasal dari Aceh.

Sebut saja beberapa nama penuh kharisma seperti Syamsuddin as-Sumatrani, Hamzah Fansuri, Syekh Nuruddin ar-Raniri, dan Abdur Rauf As-Singkili. Kedekatan konsep-konsep tasawuf ini berkelindan erat dengan pemikiran seorang Filosof ternama di Tatar Sunda, yakni Panghulu Haji Hasan Mustapa yang pernah bermukim di Nanggroe Aceh Darussalam, mampu mendekatkan religiusitas Urang Sunda dengan Orang Aceh melalui denyar-denyar tasawuf. Buku “Aceh di Mata Urang Sunda”, tentu satu bagian dari banyak episode tentang keinginan orang untuk memahami Aceh. Ini pula dikomentari Ampuh Devayan, penggagas komunitas Panteue dalam catatan akhir di buku itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse