Perempuan-Perempuan Pejuang Aceh

Senin, 16 November 2009
Perempuan-Perempuan Pejuang Aceh

Ratu Nihrasiyah
Tahun 1400-1428, menjadi ratu yang memegang pemerintahan di kerajaan Samudra Pasai.

Laksamana Malahayati
Tahun 1585-1604, memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Malahayati memimpin 2000 pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah tewas) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599, dan mendapat gelar “Admiral” untuk keberaniannya ini.

Laksamana Leurah Ganti dan Laksamana Muda Tjut Meurah Inseuen
Pada masa pemerintahan Sultan Muda Ali Riayat Syah V (1604-1607), memimpin “Suke Kaway Istana” atau Resimen Pengawal Istana yang terdiri dari “Si Pai Inong” (prajurit-prajurit wanita). Dua pimpinan inilah yang berhasil membebaskan Iskandar Muda dari tawanan Alaidin Riayat Syah V.

Divisi Kemala Cahaya
Merupakan divisi pengawal istana yang terdiri dari prajurit-prajurit perempuan dan dipimpin seorang jenderal perempuan Divisi ini dibentuk pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan merupakan bagian dari Angkatan Perang Aceh.

Ratu Safiatuddin
Bergelar Paduka Sri Sultana Ratu Safiat ud-din Taj ul-’Alam Shah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Shah. Dilahirkan dengan nama Putri Sri Alam. Safiat ud-din Taj ul-’Alam memiliki arti “kemurnian iman, mahkota dunia.” Ia memerintah antara tahun 1641-1675. Diceritakan bahwa ia gemar mengarang sajak dan cerita dan membantu berdirinya perpustakaan di negerinya. Sebelum ia menjadi ratu, Aceh dipimpin oleh suaminya, yaitu Sultan Iskandar Thani (1637-1641). Setelah Iskandar Thani wafat amatlah sulit untuk mencari pengganti laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Kemudian seorang Ulama Besar, Nurudin Ar Raniri, menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum Ulama, sehingga Ratu Safiatuddin diangkat menjadi ratu. Ratu Safiatuddin memerintah selama 35 tahun, dan membentuk barisan perempuan pengawal istana yang turut berperang dalam Perang Malaka tahun 1639. Ia juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan. Sejarah pemerintahan Ratu Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para musafir Portugis, Perancis, Inggris dan Belanda. Ia menjalankan pemerintahan dengan bijak, cakap dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang baik.

Sri Ratu Nur Alam Nakiatuddin Syah
Menggantikan Ratu Safiatuddin yang wafat dan memerintah dari tahun 1675-1678. Ia mengadakan beberapa perubahan terhadap Tata Negara yang ada. Ia memerintah selama 2 tahun sampai kemudian wafat pada 23 Januari 1678.

Sri Ratu Inayat Syah Zakiatuddin Syah
Diangkat menggantikan Ratu Nakiatuddin. Ia dikatakan sebagai seorang ratu yang bijak dan berpengetahuan luas dalam berbagai bidang. Ia bahkan menguasai bahasa Arab, Persia, Urdu, Spanyol dan Belanda yang dipelajarinya dari seorang perempuan Belanda yang bekerja di kraton Daud Dunia sebagai Sekretaris Sultanah. Kaum Wujudiah penentang sultan perempuan mulai kembali menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap kekuasaan Ratu Zakiatuddin. Mereka mengadu ke Syarif di Mekah yang lantas mengirim utusan ke Aceh. Utusan tersebut kagum melihat kemakmuran Banda Aceh sebagai kota internasional. Ratu Zakiatuddin memerintah 10 tahun lamanya sampai ia wafat pada 3 Oktober 1688.

Ratu Kumala Syah
Menggantikan Ratu Zakiatuddin dan memerintah dari tahun 1678-1688. Kaum Wujudiah masih tetap tidak menyetujui adanya sultan perempuan. Syarif Hasyim salah satu dari mereka, lalu mengawini Sang Ratu guna mempercepat kejatuhan Ratu. Sementara itu kaum Wujudiah terus menerus mengadu kepada Syarif Mekkah sehingga datanglah surat Mufti Mekkah yang menegaskan ketidak-setujuannya perempuan menjadi Sultanah Aceh. Surat tersebut lalu dibicarakan secara musyawarah diantara kalangan pembesar negara dan dimenangkan oleh kelompok anti ratu perempuan. Rabu 1 Oktober 1699 Ratu Kumala dimakzulkan (diturunkan) dari tahta dan diganti oleh suaminya, Syarif Hasyim.

Cut Nyak Dhien
Keturunan bangsawan kelahiran Lampadang pada 1848. Ayahnya Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, sedang ibunya adalah putri uleebalang Lampagar. Cut Nyak Dhien kemudian menggantikan ayahnya yang wafat sebagai uleeba-lang perempuan di daerah VI Mukim. Ia pertama kali menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga, seorang pahlawan perang melawan Belanda, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Suami pertamanya ini meninggal pada tanggal 29 Juni 1878 di dalam peperangan melawan Belanda di Sela Glee Tarun. Setelah itu ia bersuamikan Teuku Umar. Dalam perjuangannya, Teuku Umar pernah melakukan sandiwara besar dengan menyatakan sumpah setia kepada Belanda. Setelah mendapat berbagai fasilitas, Teuku Umar kembali berbalik melawan Belanda. Teuku Umar gugur saat terjadi serangan ke Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Sepeninggal Teuku Umar, Cut Nyak Dhien memimpin langsung perlawanan terhadap Belanda. Selama 16 tahun ia bergerilya di tengah hutan dan rimba. Namun kondisi fisik Cut Nyak Dhien menurun, matanya menjadi rabun. Pada tanggal 16 November 1905, sepasukan Belanda menyerbu ke hutan tempat ia bersembunyi, dan akhirnya ia dapat ditangkap. Alkisah, Cut Nyak Dhien mencabut sebuah rencong dan mengarahkannya ke dadanya sendiri, namun berhasil dicegah oleh Letnan Van Vuuren. Setelah itu Cut Nyak Dhien dibuang oleh Gubernur Van Daalen ke Pulau Jawa, hingga kemudian wafat pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.

Cut Meutia
Lahir tahun 1870, aktif di daerah Pase bergerilya bersama suaminya melawan Belanda. Ketika suaminya tertawan dan dijatuhi hukuman tembak, ia tetap melanjutkan perjuangan suaminya itu. Ia lalu menikah lagi dengan Pang Nanggro sesuai pesan suaminya. Perkawinan ini menambah hebat perlawanannya terhadap Belanda. Dengan senjata yang seadanya, ia main kucing-kucingan dengan tentara Belanda dan ini menimbulkan banyak kerugian jatuh di pihak Belanda. Dari banyak serangan-serangan gerilya, Cut Meutia mendapat tambahan-tambahan senjata api. Hingga suatu hari, sepasukan tentara Belanda mendapati jejak kaki dan mengikutinya sampai ke gubuk persembunyian Cut Meutia. Terjadilah pertempuran dan Cut Meutia tewas di dalamnya. Namun anaknya yang bernama T. Sabi berhasil lolos dan melanjutkan perjuangan ibunya. Cut Meutia wafat di Pasai, 24 Oktober 1910 dan dimakamkan di Keureuto, Lhok Sukon.

Pocut Baren
Lahir tahun 1880, menjadi Panglima Perang menggantikan suaminya yang gugur di medan perang. Selain menjadi panglima perang, iapun menjadi uleebalang daerah Gome, mempunyai pengikut yang banyak yang membantunya dalam pertempuran melawan Belanda. Pocut Baren bermarkas di sebuah gua di Gunung Mancang. Belanda mengalami kesulitan melacak keberadaan gua ini. Hingga suatu saat, keberadaan gua tersebut diketahui. Usaha tentara Belanda untuk sampai di gua itu kandas di tengah jalan karena ketika sedang mendaki gunung, beratus-ratus batu digulingkan ke bawah oleh anak buah Pocut Baren sehingga banyak tentara Belanda yang tewas. Akhirnya Belanda mendapat akal untuk mengalirkan 1200 kaleng minyak tanah ke arah gua lalu dibakar. Banyak jatuh korban karena penyerangan ini. Pocut Baren sendiri terkena peluru di kakinya sehingga perlawanannya terpaksa berhenti. Ia lalu ditahan di Kutaraja, namun anak buahnya tetap melakukan perlawanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse